PERADABAN ISLAM DI INDONESIA SESUDAH KEMERDEKAAN

Standar

PERADABAN ISLAM DI INDONESIA

SESUDAH KEMERDEKAAN

 

MAKALAH

 

Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah: Sejarah Peradaban Islam 2

Dosen Pengampu: DR. Muslih MZ, M.A

 

 

 


 

Disusun oleh:

Siti Thoifah                                 (103111096)

Sobikhin                                      (103111097)

Susi Iffatur Rosyidah                 (103111098)

Syafikur Rohman                       (103111099)

Amri Khan                                  (103111109)

 

FAKULTAS TARBIYAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG

2011

 

PERADABAN ISLAM DI INDONESIA

SESUDAH KEMERDEKAAN

 

  1.          I.          PENDAHULUAN

Setelah perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia telah mencapai puncaknya dengan di proklamirkannya proklamasi oleh Sukarno, sesungguhnya perjuangan bangsa ini masih banyak yang harus disempurnakan. Sejak awal kebangkitan Nasional, posisi agama sudah mulai di bicarakan dalam kaitannya dengan politik atau Negara. Ada dua pendapat yang didukung oleh dua golongan yang bertentangan tentang hal itu. Satu golongan berpendapat, negara Indonesia merdeka hendaknya merupakan sebuah negara “sekuler”, negara yang dengan jelas memisahkan persoalan agama dan politik, sebagaimana diterapkan di negara turki oleh mustafa kamal. Golongan lainnya bependapat, negara Indonesia merdeka adalah “Negara Islam”.

Indonesia adalah Negara yang memiliki penduduk yang mayoritas beragama Islam. Walaupun Indonesia tidak memakai Islam sebagai Asas Negara, akan tetapi mayoritas kebudayaan yang diusung oleh Islam sangat mendominasi kehidupan bangsa Indonesia, khususnya penduduk yang beragama Islam. Kebudayaan-kebudayaan yang berlaku itu berangsur-angsur membentuk suatu peradaban Islam yang mampu membawa penduduk Indonesia kepada kemajuan dan kecerdasan.

Peradaban Islam di Indonesia Sesudah Kemerdekaan mengalami perubahan yang sangat pesat, perubahan tersebut terjadi hampir meliputi seluruh aspek kehidupan. Untuk mengetahui Peradaban Islam di Indonesia Setelah Kemerdekaan mari kita diskusikan makalah ini bersama.

  1.       II.          RUMUSAN MASALAH
    1. Bagaimana Peradaban Islam Sesudah Kemerdekaan
    2. Bagaimana Politik Dalam Islam di Indonesia
    3. Apa Saja Gerakan Islam di Indonesia
    4. Bagaimana Arsitektur Bangunan Islam di Indonesia
  1.    III.          PEMBAHASAN
    1. A.    Peradaban Islam Sesudah Kemerdekaan
      1. Departemen Agama

Setelah kemerdekaan Indonesia, para pemimpin rakyat Indonesia sepakat menerapkan bentuk Republik dalam pemerintahan Indonesia. Dan berdasarkan pada asas pancasila dan UUD 1945.

Dalam pancasila ditemukan kesamaan dengan ajaran Syariat Islam dalam Al-Qur’an sebagai sumber hukum utama umat Islam. Dalam struktur pemerintahan Republik Indoesia dibentuk departemen Agama yang dulu bernama kementrian agama. Yang didirikan pertama kali pada masa kabinet syahrir sampai sekarang mentri agamanya masih dipegang oleh seorang muslim. Kepala negara dan mentrinya mayoritas dari kaum muslimin.

Sebelum terbentuknya kementrian ini, ada pembahasan mengenai apakah kementrian ini akan dinamakan kementrian agama Islam ataukah kementrian agama saja. Akhirnya diputuskan menjadi kementrian agama, yang pertama-tama mempunyai tiga seksi dan kemudian empat seksi, masing-masing kaum muslimin, umat protestan, umat katholik, dan umat hindu budha (dulu disebut agama Hindu Bali).[1]

Sesuai dengan perkembangan departemen ini strukturnya berkembang dari yang hanya terdiri dari empat seksi, sekaang terdiri dari lima direktorat jendral, yaitu direktorat jendral bimbingan masyarakat Islam dan urusan haji, di rektorat jendral pembinan kelembagaan agama Islam, direktorat jrndral bimbingan masyarakat katholik, direktorat jendral bimbingan masyarakat protestan, dan direktorat jendral bimbingan masyarakat hindu dan budha. Menti agama juga dibantu oleh lembaga inspektorat jendral, sekretariat jendral, badan penelitian dan pengembangan (balitbang) agama dan pusat pendidikan dan latihan (pusdiklat) pegawai.[2]

  1. Pendidikan

Setelah berdirinya departemen agama, persoalan pendidikan mulai mendapat perhatian lebih serius. Badan pekerja komite nasional pusat dalam bulan desember 1945 menganjurkan agar pendidikan madrasah diteruskan.[3]

Kurikulum 1975 tercipta setelah melalui perjuangan pihak pengemban madrasah, untuk berusaha menyamakan status dan derajat madrasah yang dikelola oleh departemen agama dengan status dan derajat pendidikan lain yang dikelola oleh departemen pendidikan dan kebudayaan.

Berkenaan dengan perguruan tinggi Islam kaum muskmin di Indonesia sejak awal sudah berfikir untuk membangunnya. Mahmud yunus membuka Islamic College pertama tanggal 9 desember 1940 di padang yang terdiri dari Fakultas Syari’ah dan Fakultas Pendidikan dan Bahasa Arab. Tujuannya adalah  untuk mendidik Ulama.[4]

Pada tahun 1958 pemerintah terdorong untuk mendirikan Madrasah Negri dengan ketentuan kurikulum 30% pelajaran agama, 70% pelajaran umum. Sistem penyelenggaraan sama dengan sekolah umum menggunakan tingkatan sebagai berikut:

  1. Madrasah Ibtidaiyyah Negri (MIN) setingkat SD, lama belajar 6 tahun.
  2. Madrasah Tsanawiyah Negri (MTsN) setingkat SMP, lama belajar 3 tahun.
  3. Madrasah Aliyah Negri (MAN) setingkat SMA, Lama belajar 3 tahun.[5]

Salah satu tugas penting yang dilakukan Departemen Agama adalah menyelenggarakan, membimbing, dan mengawasi pendidikan agama. Lembaga-lembaga pendidikan islam sudah berkembang beberapa bentuk sejak zaman penjajahan belanda. Salah satu bentuk pendidikan islam tertua di Indonesia adalah pesantren yang tersebar di berbagai pelosok. Dengan berkembangnya pemikiran pembaharuan dalam islam di awal abad ke-20, persoalan administrasi dan organisasi pendidikan mulai mendapat perhatian beberapa kalangan atau organisasi. Kurikulum mulai jelas. Belajar untuk memahami, dan bukan sekedar menghafal, ditekankan, dan pengertian ditumbuhkan. Itulah yang dinamakan Madrasah.[6]

Secara garis besar, ada beberapa hal yang dapat digaris bawahi, yang pertama Geliat pemikiran islam di Indomnesia pada era 2000-an memang agak berlainan dengan era sebelumnya. Sebab, pada era ini, pemikiran islam lebih banyak dimotori oleh anak muda NU yang notabenetelah menjadi santri kota. Hal ini menyiratkan betapa anak kampung (cah ndeso) melawan belantara kota guna mensosialisasikan pemikiran mereka. Hal ini sesungguhnya juga di alami oleh pemikiran lainnya, namun untuk kasus anak muda, mereka telah memiliki panggung yang dipelopori oleh Gusdur.

Di samping itu, mereka juga sudah siap menyantap apa saja sebab mereka tidak menggunakan modal sendiri, karena dibayari oleh funding internasional. Demikian pula, mereka tidak perlu ambil pusing dengan menu masakannya, sebab menu mereka memang hasil kolaborasi antara sarjanah Indonesianis dan Arab kontemporer. Kendati untuk menyantap masakan tersebut, mereka masih mengakui bahwa mereka berasal dari komunitas wong cilik yaitu pesantren dan IAIN.

Kedua, jika diniati secara mendalam, pemikiran anak muda NU memang bukan barabg baru dalam kancah pemikiran islam di Indonesia. Hanya saja, sebagai mana lazimnya pemikiran, dia pasti menyodok menyeruak ke permukaan seiring dengan perkembangan zaman. Namun, jika ditilik dari agenda anak muda NU, maka agenda mereka sudah”agak ketinggalan,” sebab wacana yang dikembangkan sesudah “ selesai” di kalangan IAIN. Pemikiran mereka menjadi heboh tampaknya ketika dikonsumsi di wilayah Komoditi, seperti Jakarta yang memang menciptakan pemikiran dari sisi market, bukan substansi pemikiran itu sendiri. Seperti di tegaskan oleh Robinhus seperti di atas, bahwa pada saatnya pada saatnya anak muda NU ini akan kembali kekandangnya seperti yang terlihat pula dari sosok Gus Dur, kendati di usung kemana mana, toh akhirnya kembali ke NU juga.

Ketiga, hal ini menjadi catatan awal untuk memahami pemikiran Islam di Indonesia era 2000-an. Sebab saat ini anak muda NU lah yang paling terdepan dibandingkan dengan kelompok muda lainnya. Dalam buku Islam Historis,bahwa pemikiran Islam akan banyak ditentukan oleh anak Muda NU yang “berani” melawan tradisi dan anak muda dari IAIN yang seringkali dicap Islam Kere. Hal ini tentu saja akan memberikan prespektif baru terhadap dinamika studi pemikiran Islam di Indonesia. Dengan kata lain, era Nur Cholish Madjid telah selesai seiring dengan keinginannya terlibat dalam politik praktis. Dan inipun akan dilakukan oleh anak muda NU, seperti yang dilakukan oleh sang pelindung mereka Gus Dur.[7]

  1. Hukum Islam

Lembaga Islam yang sangat penting yang juga ditangani oleh Departemen Agama adalah Hukum atau Syari’at. Pengadilan Islam di Indonesia membatasi dirinya pada soal-soal hukum muamalat yang bersifat pribadi. Hukum muamalat terbatas pada persoalan nikah, cerai dan rujuk, hukum waris (faraidh), wakaf, hibah, dan baitul mal.

Keberadaan lembaga peradilan agama di masa Indonesia merdeka adalah kelanjutan dari masa kolonial belanda. Pada masa pendudukan jepang, pengadilan agama tidak mengalami perubahan. Setelah Indonesia merdeka jumlah pengadilan agama bertambah, tetapi administrasinya tidak segera dapat diperbaiki. Para hakim Islam nampak ketat dan kaku karena hanya berpegang pada madzhab Syafi’i. Sementara itu, belum ada kitab undang-undang yang seragam yang dapat dijadikan pegangan para hakim dan pengadilan Agama di dominasi oleh golongan tradisionalis. Karena itulah, sekolah Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN) dan Fakultas Syari’ah di perguruan-perguruan tinggi didirikan.[8]

  1. Haji

Setelah kemerdekaan, pada tahun 1970-an, banyak para pejabat tinggi pemerintah, termasuk menteri, yang tidak ketinggalan berangkat ke tanah suci. Bahkan dari kalangan merekalah amir al-hajj (pemimpin jama’ah haji) Indonesia ditunjuk.

Sejak zaman penjajahan belanda, umat Islam Indonesia ingin mempunyai kapal laut untuk dipergunakan dalam penyelenggaraan perjalanan haji. Iuran dikumpulkan, saham diedarkan, tetapi selama zaman jajahan keinginan ini tidak terwujud. Setelah Indonesia merdeka, usaha ini dilanjutkan. Pada tahun 1950 sebuah yayasan, yaitu perjalanan haji Indonesia, didirikan di jakarta. Pemerintah memberikan kekuasaan kepada yayasan itu untuk menyelenggarakan perjalanan haji. Sebuah bank, bank haji Indonesia dan sebuah perusahaan kapal, pelayaran muslim Indonesia (musi) didirikan. Tetapi 10 tahun kemudian perusahaan MUSI ini masih saja bertindak sebagai agen dalam mencarter kapal dari perusahaan asing dalam artian MUSI tidak mempunyai kapal sendiri.

Cara ini ditempuh samapai tahun 1962, ketika MUSI diperbolehkan oleh pemerintrah, mungkin sekali karena pertimbangan politik. Setahun sebelumnya, pada tahun 1961, petugas haji Indonesia (PHI) yang bertugas memberikan kemudahan-kemudahan naik haji, juga dibubarkan karena banyak anggota PHI adalah anggota Masyumi, partai yang telah dibubarkan.[9]

  1. Majelis Ulama’ Indonesia

Cara yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam menyelenggarakan administrasi Islam ialah mendirikan Majelis Ulama. Suatu program pemerintah, apalagi yang berkenaan dengan agama, hanya bisa berhasil dengan baik. Pertama kali Majelis Ulama didirikan pada masa pemerintahan Soekarno. Majelis ini pertama-tama berdiri di daerah-daerah karena diperlukan untuk menjalin keamanan. Di jawa barat berdiri pada tanggal 12 juli 1958, diketahui oleh seorang panglima militer. Setelah keamanan sudah pulih dari pemberontakan DI-TII tahun 1961 majelis Ulama ini bergerak dalam kegiatan-kegiatan diluar persoalan keamanan, seperti Da’wah dan Pendidikan.[10]

  1. B.     Politik Dalam Islam di Indonesia

Hubungan Islam dan politik dalam konstelasi politik di indonesia di era reformasi, menurut nur cholish madjid dalam salah satu tulisannya mengungkapkan bahwa ada tiga sebab mengapa pembahasan mengenai hubungan islam dan politik tidak akan habis-habis untuk di telaah.

  1. Sebab pertama yaitu kekayaan sumber bahasan, sebagai buah lima belas abad sejarah akumulasi pengalaman dunia islam dalam membangun kebudayaan dan peradaban.
  2. Sebab kedua yaitu kompleksitas permasalahan, sehingga setiap pembahasan dengan sendirinya teriring untuk memasuki satu atau beberapa pintu pendekatan yang terbatas.
  3. Sebab ketiga yaitu pembahasan agama dan politik dalam islam ini agaknya akan terus berkepanjangan mengingat sifatnya yang mau tidak mau melibatkan pandangan ideologis berbagai kelompok masyarakat, khasnya kaum muslimin sendiri.

Adapun latar belakang kedua memerlukan sebuah metodologi untuk memahami perilaku politik umat islam. Metodologi ini kemudian menjadi suatu bangunan cetak biru (blue print) yang mampu menjelaskan islam politik pada era reformasi di indonesia. Kecuali itu, hal tersebut mampu memberikan bagaimana sesungguhnya hubungan islam dan politik atau nilai-nilai islam (islamic values) dalam tataran politik di indonesia. Akhirnya, sebab ketiga berkenaan dengan sesuatu keyakinan yang di pandang benar yaitu ideologi. Persoalannya apakah Islam boleh dijadikan ideologi atau sebaliknya Islam mewarnai ideologi itu sendiri.

Lebih lanjut, dalam konteks indonesia umat Islam dapat di identifikasi dengan lima cara, antara lain:

  1. Siapa saja yang menganut agama Islam
  2. Siapa saja yang mempraktikkan ritual agama islam, contohnya seperti melakukan shalat, membayar zakat, dan menunaikan haji.
  3. Siapa saja yang sangat menguasai atau lebih berpengetahuan tentang ajaran-ajaran Islam.
  4. Siapa saja yang menyesuaikan perilaku mereka dengan ajaran-ajaran Islam dalam masyarakat.
  5. Siapa saja yang menganggap ajaran-ajaran Islam sebagai ideologi.

Saat ini, jumlah penduduk Indonesia yang beragama Islam adalah 86% dari jumlah keseluruhan rakyat indonesia. Jumlah tersebut jika di klasifikasikan maka akan terbagi kebeberapa bagian yaitu kelompok islam ortodoks (santri) dan senkretis (abangan). Kelompok islam ortodoks (santri) di pesantren terutama di pedesaan. Sedangkan wilayah pedesaan indonesia masih sangat dominan jika dibandingkan dengan wilayah perkotaan. Isu yang berkembang diwilayah pedesaan lebih banyak di respon dengan “siapa” yang mengatakan bukan apa yang dikatakan. Disinilah muncul kelompok ulama’ yang membidangi pertumbuhan pesantren. contohnya Jika suatu pendapat dikeluarkan oleh ulama’ maka semua pengikutnya akan mematuhi dan tidak akan membantahnya dengan begitu disini jarang di ikutkan proses rasionalisasi, yang ada hanya hubungan emosi antara ulama’ dan santri serta dengan masyarakat setempat. Sehingga, ketika ada agenda politik tertentu, yang pertama kali di dekati adalah para ulama’ yanag tinggal di wilayah tersebut.

Sedangkan kelompok yang tinggal di perkotaan sekarang jarang memperhatikan pada “siapa” yang mengatakan, tetapi “apa” dan “mengapa” sesuatu dikatakan. Disinilah diperlukan rasionalisasi dan tidak membutuhkan figur sebagaimana yang terjadi di wilayah pedesaan. Sehingga, untuk memahami apa dan mengapa diwilayah perkotaan muncullah gerakan islam atau jama’ah diskusi Islam. Dalam kelompok itulah segala  permasalahan umat Islam dibahas. Dan, dalam proses ini yang kemudian melahirkan berbagai kelompok Islam diwilayah perkotaan. Sehingga di wilayah perkotaan dijumpai kelompok islam yang liberal dan konservatif. Ini menunjukkan adanya polarisasi kelompok islam bukan disebabkan oleh agama islam namun tergantung pada pemahaman kelompok tersebut pada Islam.

Dengan perkembangan zaman yang pesat kelompok santri ini merambah kewilayah perkotaan, proses ini berlaku sejak tahun 1990an yang dikenal dengan sebutan “santrinisasi” (santrinization) yaitu munculnya sekolah-sekolah elit muslim yang dikenal sebagai “sekolah islam”. Sekolah tersebut mengajarkan ilmu-ilmu keislaman dan ilmu umum sekaligus. Sekolah model ini menawarkan sistem pendidikan yang diterapkan di pesantren yakni para murid di asramakan dan belajar islam sebagaimana layaknya di pesantren. Dan sistem pendidikan umum, para murid di ajarkan ilmu-ilmu yang diajarkan pada sekolah umum. Sistem santrinisasi sekarang disebut dengan sebutan islamic boarding school.

Selain proses tersebut, beberapa mahasiswa dikirim ke barat untuk mempelajari Islam juga untuk ikut mewarnai kehidupan Islam di Indonesia. Hampir semua pemikir Islam di Indonesia pernah belajar Islam di Barat dan disaat yang sama juga pernah mengecap pendidikan islam di pesantren seperti di tegaskan rumadi bahwa akhir tahun 80an, mulai ramai anak-anak NU yang belajar ke barat seiring berbagai kebijakan pemerintah. Para pemuda muslim banyak yang belajar keluar negeri.[11]

Oleh karena itu, tidak mengherankan dalam kacah islam politik di Indonesia, warna-warna pemikiran dari barat ikut memberikan kesan tersendiri kepada tokoh-tokoh Islam politik. Mereka sering mencontohkan bahwa Amerikalah negara yang paling demokratis di Dunia. Ringkasnya, mereka kerap thing like American. Disaat yang lain, ramai juga gerakan Islam di Indonesia yang tidak suka dengan Amerika. Mereke ini biasanya muncul dari kelompok-kelompok islam yang terwadahi dalam gerakan atau partai politik yang berasal dari kalangan Islam yang tinggal di wilayah perkotaan.

Dengan demikian, dapat dipahami jika kemudian tokoh-tokoh “Islam Politik” berasal dari kelompok santri yang memiliki ikatan kultural dengan masyarakat setempat.[12]

Di dalam Aspirasi politik umat Islam terdapat tiga pola sosialisasi Islam di Nusantara, yaitu:

  1. Kota-kota menjadi pusat perdagangan dan basis komunitas Islam, dan dari sinilah Raja atau penguasa kemudian di Islamkan. Sosialisasi Islam digerakkan dari istana, seperti pada kerajaan Goa-Tallo, Bone, Wajo dan Bima.
  2. Unsur-unsur elite kerajaan berguru ke pusat pendidikan Islam di giri, gresik, seperti dilakukan ternate.
  3. Kesultanan Islam dibantu menaklukkan raja vasalnya. Ini terjadi pada kasus kerajaan Demak yang membantu kerajaan banjar menaklukan kerajaan Daha, asal penguasanya harus masuk Islam.[13]

Cita-cita Islam dalam lapangan kenegaraan ialah mendirikan negara Islam di Indonesia, berlakunya hukum-hukum Allah dalam negara Islam dan menegakkan salam dan bahagia dalam masyarakat manusia seluruhnya.

Tujuan itu bukan saja kita dasarkan karena penduduk Indonesia 95 % memeluk Agama Islam, tetapi dorongan keyakinan yang bersemi dalam dada kita kaum Muslimin semuanya, bahwa hanya dengan peraturan Islam lah dunia ini dapat diatur dan disusun. Hanya dengan undang-undang ilahillah perdamaian dunia yang kekal dan abadi dapat ditegakkan, undang-udang yang memberi hidup kepada segenap kodrat manusia, lahir dan batin. Cita-cita kegemerlapan itu dapat diwujudkan, kalau umat muslim indonesia bisa memegang kekuasaan politik.[14]

  1. C.    Gerakan Islam di Indonesia
    1. Gerakan Islam Jamaah

Gerakan Islam Jamaah (IJ) sebagai satu aliran keagamaan, baru muncul pada tahun 1950-an, tepatnya semenjak Kiayi Nurhasan Al-Ubaedah mendirikan sebuah pesantren di daerah kediri. Tokoh tersebut dalam pengembangan ajaran-ajarannya memperoleh teman perjuangan, yakni H. Nurhasyim.[15]

Sebagaimana digariskan sejak awal berdirinya, dakwah IJ menekankan pengajaran Qur’an dan Hadits. Sampai sekarang garis tersebut tidak diubah, kecuali dikembangkan sedemikian rupa dari segi metode penyampaianya. Penekanan pada materi itu, menurut pimpinan pesantren Burengan, oleh karena kandungan Quran dan Hadits sudah laksana lautan yang tidak akan pernah habisnya ditimba, sehingga membutuhkan waktu yang panjang untuk mempelajarinya.

Terhadap kelompok-kelompok Islam yang menyusun model pendidikannya dengan memasukan terlalu banyak ilmu-ilmu alat menurutnya tidak praktis. Katakan saja, misalnya seorang santri diajarkan berturut-turut kitab Hidayatus Syibyan, Tukhfatul Athfal, lalu jurumiah, diteruskan dengan amrity, dan akhirnya dianggap hebat kalau telah hafal Alfiah-nya Ibn Malik. Karena semuanya itu mengenai bahasa Arab atau Nahwu, maka boleh jadi yang bersangkutan telah habis kesempatanya untuk mempelajari al Qur’an dan al Hadist. “Bagai mana seseorang bisa menjalankan ajaran agama dengan baik jika sumber pokoknya tidak sempat dikuasai” kilahnya.[16]

  1. Gerakan  Kelompok Islam Isa Bugis

Pada dekade 60-70-an, di daerah Sukabumi, Jawa Barat: merupakan saat pertama kali mncul kegiatan keagamaan yang kemudian disebut oleh orang-orang sekitar daerah tersebut ‘Kelompok Islam Ida Bugis’. Sebutan itu diberikan oleh orang-orang di luar kelompok (Isa Bugis), dengan mengacu kepada tokoh pemimpin dari kegiatan keagamaan itu, ialah seorang bernama Isa Bugis.[17]

Secara garis besar, apabila dilihat dari buku pedoman yang dipergunakan sebagai rujukan dalam pendalaman ajaran al Qur’an menurut sunah Rasul-Nya oleh kelompok ini, pokok ajaran yang dipelajari adalah: a) Iman, b) Islam, c) Ikhsan, dan dan d) Sa’ah (Qiyamat). Keempat permasalahan itulah yang menjadi bahasan dalam pertemuan keagamaan yang diadakan kelompok ini. Sistimatika pembahasan pokok ajaran ini berbeda dengan islam yang dihasilkan oleh para ulama (islam) yang meliputi: a) Tauhid, b) Fiqih, c) Akhlaq (tasawuf/filsafat) yang dengan meninggalkan pokok bahasan Sa’ah/Qiyamat. Menurut pandangan kelompok ini, iman berbeda dengan Tauhid, Islam berbeda dengan Fiqih, dan Ikhsan berbeda dengan akhlaq/filsafat.[18]

  1. Gerakan Jamaah Islam Qurani

Gerakan Jamaah Islam Qur’ani adalah suatu faham yang menjadikan al Qur’an satu-satunya hanya al Qur ‘an saja yang diakui dan diterima menjadi dasar hukum dalam hukum islam. Gerakan Jamaah Islam Qurani ini muncul dan tampak dengan  terang-terangan mengembangkan fahamnya di Indonesia sekitar tahun 1978. Orang-orang yang menganut faham ini oleh masyarakat sekitarnya disebut “Golongan Ingkar Sunnah/Hadits Nabi Muhammad menjadi dasar hukum agama Islam setelah al Qur’an. Istilah “Ingkar Sunnah”bagi penganut paham itu tidak begitu disukai. Mereka menyebut dirinya, sebagai “Jamaah Qur’an” atau “Orang Qur’an”, karena hanya al Qur’an lah yang mereka anggap sumber hukum yang benar.[19]

  1. Gerakan Kaum Muda Islam Mesjid Salman

Gerakan kebangkitan agama secara internal dapat dilihat sebagai bagian dari proses pencarian bentuk pemahaman baru terhadap ajaran agama. Alasan serta faktor pendorong pencaian bentuk pemahaman baru itu secara garis besar bisa dilihat sebagai upaya pencarian jawaban serta penyeselean artenatif penyeselean terhadap problem-problem sisial, ekonomi, dan  beriringan  politik dikalangan umat beragama, yang muncul beriringan dengan perkembangan serta perubahan masyaakat itu sendiri. Karena agama di yakini memiliki alternatif penyelesean serta jawaban bagi problem-problem tersebut, mendorong pendalaman agama secara intens dalam bentuk pemahaman-pemahaman baru tersebut.[20]

  1. Gerakan Kelompok Islam di Yokyakarta

Gerakan ini ada tiga kelompok yaitu kelompok Mardliyah, kelompok Masjid syuhada’, dan kelompok Jama’ah Salahuddin.

Dari segi organisasi, ketiga kelompok tersebut mengambil bentuk organisasi kecil terdiri dari beberapa pengurus harian dan para pembantu mereka yang menangani bidang-bidang kegiatan tertentu. Pada kelompok Salahuddin misalnya, struktur organisasi terdiri dari Ketua Umum dan tiga orang ketua, sekretaris umum dan bendahara umum. Ketua umum mengkoordinir bidang-bidang program, sementara ketiga ketua membawahkan unit-unit kegiatan yang telah terlaksana.

Idiom-idiom modern sudah dipergunakan oleh ketiga kelompok ini untuk menyebutkan berbagai komponen organisasi, seperti: Ketua Umum, Sekretaris Umum, dan sebagainya. Idiom-idiom yang sekaligus atribut itu tidak terdapat di dalam kelompok-kelompok yang bersifat tradisional. Disamping itu differensiasi kerja sudah mulai tampak antara berbagai komponen organisasi dimana masing-masing komponen mempunyai domin dan tanggung jawab tertentu. Lebih dari itu, tidak seperti organisasi tradisional yang biasanya mencampurkan milik individu dengan milik organisasi, ketiga kelompok yang di observasi sudah menunjukkan tanda adanya pemisahan antara milik individu dengan milik kelompok. Hal-hal tersebut (pemakaian idiom dan atribut-atribut: modern, “differensiasi kerja, pemisahan milik) menjadi pertanda bahwa ketiga kelompok telah sampai ketingakt perkembangan “pasca tradisional”.[21]

  1. Gerakan  Nadhatul Ulama (NU)

Organisasi Islam NU berdiri pada tanggal 13 Januari 1926 dengan Pemimpinnya K.H. Hasyim As’ari. Latar belakang didirikannya NU adalah semakin meluasnya paham-paham keislaman dikalangan Masyarakat yang dikeluarkan oleh kaum modernis (pembaruan) yang dianggap kurang tepat.

Adanya perbedaan pendapat yang tajam antara kaum tradisionalis dan kaum modernis yang dapat merenggangkan Ukhuwah Islamiyyah. Adanya gejala-gejala yang kurang baik dalam kehidupan Umat Islam di Indonesia dan perlakuan yang kurang baik oleh kolonial terhadap kaum pribumi.[22]

Perkumpulan NU ini dimaksudkan untuk memegang teguh pada salah satu madzhab yang empat, dan mengerjakan apa saja yang menjadikan kemaslahatan agama Islam. Para peninjau sejarah melihat bahwa NU berpraktek menurut ajaran Imam Syafi’i. Kegiatannya ditujukan untuk mengembangkan agama Islam dengan memperbanyak Tabligh-tabligh pendidikan supaya umat Islam sadar kembali atas kewajibannya terhadap agama bangsa, dan tanah air, sehingga bisa beramal sebagaimana mestinya. NU tidak mencampuri politik Indonesia, KH. Hasyim As’ari dari jombang adalah tokoh pembentuk NU sedangkan yang mewujudkannya menjadi organsasi adalah KH. Abdul Wahab Hasbullah. Kyai ini kiat mengajarkan agama Islam dan selalu mencari jalan mempersatukan umat Islam dalam sebuah ikatan agama.[23]

Betapa terkejutnya pimpinan organisasi non Islam melihat kebangkitan ulama dengan Majlis A’la Indonesia. Para ulama dengan sangat berani menamakan organisasinya sebagai organisasi Islam luhur. Tentu bagi rakyat saat itu, memang membenarkan dan memandang layak jika ulama menamakan organisasinya sebagai organisasi luhur karena ulama menepati status terhormat dihati rakyat.[24]

  1. D.    Arsitektur Bangunan Islam di Indonesia

Arsitektur bangunan-bangunan Islam di Indonesia berbeda dengan yang terdapat di dunia Islam lainnya. Pada zaman pertumbuhan dan perkembangan Islam di Indonesia dari hasil-hasil seni bangunan tersebut ialah masjid kuno demak, sendang duwur agung kasepuhan di cirebon, masjid agung banten, baiturrahman di aceh, dan di daerah-daerah lainnya. Masjid-masjid tersebut menunjukan sebuah keistimewaan dalam denahnya maupun penggunanya yang berbentuk persegi empat atau bujur sangkar dengan bagian kaki yang tinggi serta pecah dikeliling parit atau kolam air dibagian depan atau sampingnya yang berserambi, atapnya bertumpang dua, tiga, lima, atau lebih, dikelilingi parit atau kolam air dibagian depan atau sampingnya yang berserambi.

Bagian-bagian lain seperti mihrab dengan lengkung pola kalamakara, mimbar yang mengingatkan akan ukiran-ukiran pola teratai, mastaka atau memolo, menunjukkan seni-seni bangunan tradisional yang dikenal di Indonesia sebelum dan sesudah kedatangan Islam.

Dari beberapa masjid kuno mengingatkan kita kepada seni bangunan candi, menyerupai bangunan meru pada zaman Indonesia hindu, ukiran-ukiran pada mimbar, hiasan lengkung pola kalamakara, mihrab, bentuk beberapa mastaka atau memolo, menunjukan hubungan yang erat, perlambang meru, kakayon gunungan atau gunung tempat dewa-dewa yang dikenal dalam cerita keagamaan hindu. Beberapa ukiran pada masjid kuno di Mantingan, sendang duwur menunjukan pola yang diambil dari dunia timbuh-tumbuhan dan hewan yang diberi corak tertentu dan mengingatkan kepada pola-pola ukiran yanag sudah dikenal pada Candi Prambanan dan beberapa candi lainnya.

Selain itu, pada pintu gerbang baik dikeraton-keraton maupun di makam orang-orang yang di anggap keramat yang berbentuk candi-bentar, kori agung, jelas menunjukan corak pintu gerbang yang dikenal sebelum Islam. Demikian pula nisan-nisan kubur di daerah tralaya, Tuban, Madura, Demak, Kudus, Cirebon, Banten menunjukan unsur-unsur seni ukir dan perlambang pra-Islam. Di Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatera terdapat beberapa nisan kubur yang lebih menunjukkan unsur seni Indonesia pra-Hindu dan pra-Islam.[25]

Arsitektur bangunan juga terdapat pada batu nisan Fatima binti Maymun, yang ditemukan di Leran (Jawa) dan bertanggal 475 H, adalah prasasti arab yang umumnya dianggap sebagai yang tertua yang pernah ditemukan di Indonesia. Meskipun kini tempat nisan itu ditemukan telah menjadi satu tujuan ziarah. Benda itulah sebuah cat-jimat yang ditemukan di Barus (Sumatra) oleh satu tim arkeologi Indonesia-Prancis pada tahun 1997, waktu diadakan penggalian di tempat tersebut. Cat-jimat itu ditemukan di situs Labu Tua, di luar kerangka stratigrafi. Situs itu sendiri diketahui berasal dari periode pertengagan kedua abad ke-9 sampai akhiar abad-11, tetapi sukar diketahui bagaimana benda kecil di atas dapat ditentukan masanya. Patut dicatat lebih dahuli, bahwainilah cap jimat islam kuno yang pertama ditemukan di Indonesia.

Deskripsinya sederhana saja. Cap jimat itu terbuat dari kaca tembus lihat berwarna hijau tua, berbentuk lonjong, dengan pinggir bawahnya berlekuk. Ukurannya 15mm panjang, 13m lebar, 3mm tebal. Disisi bawah terdapat sebuah inskripsi dua baris dalam bahasa arab yang berupa relief timbul.[26]

Selanjutnya Masjid Kudus terkenal sekaranag ini ialah terutama menaranya dari batu bata, dengan gaya begitu unik, sehingga oleh setempat penduduk setempat dinamakan “ Masjid Menara”, namun sesungguhnya menara ini bukan satu-satunya hal yang menarik dari kompleks agama ini. Masjid sekarang telah di ubah oleh berbagai renovasi (yang kelebihan di sebuah situs sejarah), antara tahun 1920-1950, sampai menjadi sebuah rumah ibadah bergaya “neo Timur Tengah” lengkap dengan menara-menara kecil dan kubahnya yang terbuat dari seng. Penduduk setempat percaya bahwa Sunan Kudus sendirilah yang membawanya pulang dari Yerussalem. Tradisi ini barangkali menyiratkan bahwa batunya diukir di luar pulau jawa. Berkas-berkas saksi setempat, prasasti ini bukan di tempat asalnya, mungkin dipindahkan ataupun baru ditemukan kembali waktu renovasi masjid. Hal ini rupanya menjelaskan mengapa baru ditemukan oleh para pakar belum lama ini, karena sebelumnya belum tercantum dalam laporan J. Knebel mengenai peninggalan purbakala di Kudus tahun 1910, serta tidak disebut pula dalam daftar inventaris tahun 1968 oleh Louis-CharlesDamais, padahal sangat lengkap, mengenai prasasti-prasasti Islam di dunia Melayu.

Prasasti ini baru dibaca oleh Sayyid Dzia Shahab tahun 1959 dan ditranskripsikan serta diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dalam buku kecil oleh sejarawan Solichin Salam, Sunan Kudus Riwajat Hidup serta Perdjoangannja, yang diterbitkan di Kudus. Transkripsi tersebut mengandung banyak lakuna dan kekeliruan, sehingga tidak mungkin menangkap struktur teks itu serta tempat masing-masing unsurnya dalam keseluruhannya.[27]

Sejarah kota Kudus dan walinya Sunan Kudus hanya diketahui lewat kronik-kronik setempat berupa babad Jawa dan hikayat Melayu. Kedua ahli Jawa yang ulung, De Graaf dan Pigeaud bekerjs keras untuk menggali semua sumber tersebut dengan tujuan untuk menemukan benang merah dalam cerita-cerita yang terdadang saling bertentangan.[28]

Ditengah-tengah kota kediri, jawa timur juga terdapat sebuah tempat keramat bernama sentana gedong atau kuburan gedung terletak dekat sebuah masjid yang kelihatan baru yang dicapai melalui sebuah gang sempit dibelakang masjid terbentang pemakaman yang meliputi beberapa kubur keramat yang ditutupi cungkup. Diujung utaranya, sebuah pendapa yang pada bulan oktober 2002 sedang direstorasi dengan mewah melindungi sisa-sisa sebuah bangunan kuno dari bata, yatu gedong yang dimaksud dalam nama tempat tersebut. Dalam keadaannya sekarang ini bangunan itu pertama-tama tampak sebagai sebuah tembok rendah lurus yang teloah dipagar, setinggi satu meter tinggi sedikit; ditengahnya ada lubang pintu lengkap dengan lambang atas yang ditutupi sebuah hiasan besar dengan gaya arsitektur yang di jawa disebut padu reksa lewat pintu gerbang, ada sebuah ruang persegi yang berukuran kecil. Di dalam pekuburan sentana kedong kediri terdaat makam seorang tokoh yang antara lain disebut sebagai “Al-Imam Al-kamil” dan eptafnya diakhiri dengan “Al-Shafi’i Madhaban Al-Arobi Nisban Wa Huwa Tadj al-kuda”.

Mengingat langkahnya Inskripsi arab di jawa, terutama dari abad ke-16, masa yang sangat menentukan bagi masuknya Islam secara definitif, Inskripsi ini merupakan sumber yang tidak dapat diabaikan dalam teks arabnya, terdapat kata Hadha dengan yang akhir, yaitu satu farian bentuk feminim Hadhihi, sedangkan terdapat juga kata maqam berbentuk maskulin. Arti kata terakhir ini cukup kompleks, sehingga pemahaman serta terjemahannya Islam berubah menurut konteksnya. Jadi dapat di definisikan “bangunan peringatan yang didirikan di tempat singgahnya seorang tokoh suci.[29]

  1.    IV.          KESIMPULAN
    1. Peradaban Islam sesudah kemerdekaan ditandai dengan dibentuknya Departemen Agama dalam pemerintahan, pendidikan, Hukum Islam, Haji, dan Majelis Ulama’ Indonesia.
    2. Ada tiga sebab mengapa pembahasan mengenai hubungan Islam dan politik tidak akan habis-habis untuk di telaah.
      1. Sebab pertama yaitu kekayaan sumber bahasan.
      2. Sebab kedua yaitu kompleksitas permasalahan.
      3. Sebab ketiga yaitu pembahasan agama dan politik dalam Islam.

Dalam konteks Indonesia umat Islam dapat di identifikasi dengan lima cara, antara lain:

  1. Siapa saja yang menganut agama Islam.
  2. Siapa saja yang mempraktikkan ritual agama islam.
  3. Siapa saja yang sangat menguasai atau lebih berpengetahuan tentang ajaran-ajaran Islam.
  4. Siapa saja yang menyesuaikan perilaku mereka dengan ajaran-ajaran Islam dalam masyarakat.
  5. Siapa saja yang menganggap ajaran-ajaran Islam sebagai ideologi.
  6. Setelahkemerdekaan Indonesia mempunyai beberapa gerakan Islam, diantaranya adalah:
    1. Gerakan Islam Jama’ah
    2. Gerakan Kelompok Islam Isa Bugis
    3. Gerakan Jama’ah Islam Qurani
    4. Gerakan Kaum  Muda Islam Mesjid Salman
    5. Gerakan Kelompok Islam di Yogyakarta
    6. Gerakan Nahdhatul Ulama (NU)
    7. Arsitekur bangunan Islam di Indonesia membuktikan peradaban Islam yang telah ada sebelum kemerdekaan, diantaranya masjid kuno demak, sendang duwur agung kasepuhan di cirebon, masjid agung banten, baiturrahman di aceh, dan di daerah-daerah lainnya.
  1.       V.          PENUTUP

Demikianlah makalah yang dapat kami buat, sebagai manusia biasa kita menyadari dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Untuk itu kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.

DAFTAR PUSTAKA

 

Anshary, M. Isa, Falsafah Perjuangan Islam, (Medan: Saiful, 1951), Cet. 2

Aziz, Abdul, dkk, Gerakan Islam Komtemporer di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989)

Azra, Azumardi, Wajah Baru Islam di Indonesia, (Yogyakarta: UII, press, 2004), Cet. 1

Kals, Claude Guillot dan Ludvik, Inskripsi Islam Tertua di Indonesia, (Jakarta: Pepustakaan Populer Gramedia, 2008), Cet. 1

Kamaruzzam, Bustamam Ahmad, Wajah Baru Islam di Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2004), Cet. 1

Karim, M. Abdul, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), Cet. 1

Sunarto, Musyrifah, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007)

Suryanegara, A. Mansur, Api Sejarah, (Bandung: Salamadi Pustaka Semesta, 2009), Cet. 1

Syukur, Fatah, Sejarah Peradabab Islam, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2010), Cet. 2

Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, dirasah Islamiyyah II, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), Cet. 15

 


[1] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, dirasah Islamiyyah II, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), Cet. 15, hlm. 307

[2] Ibid, hlm. 309

[3] Fatah Syukur, Sejarah Peradabab Islam, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2010), Cet. 2, hlm. 275

[4] ibid, hlm. 275-276

[5] Musyrifah Sunarto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 129

[6] Badri Yatim,  Op. Cit,  hlm. 309

[7] Azumardi Azra, Wajah Baru Islam di Indonesia, (Yogyakarta: UII, press, 2004), Cet 1, hlm. 99-100

[8] Badri Yatim, Op. Cit, hlm. 315

[9] Ibid, hlm. 318

[10] Ibid, hlm. 320

[11] Bustamam Ahmad Kamaruzzam, Wajah Baru Islam di Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2004), Cet. 1, hlm. 139-142

[12] Ibid, hlm. 142

[13] Hasan Muarif Ambari, Menemukan Peradaban, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998), cet. 1, Hlm. 314

[14] M. Isa Anshary, Falsafah Perjuangan Islam, (Medan: Saiful, 1951), Cet. 2, hlm. 138

[15] Abdul Aziz, dkk, Gerakan Islam Komtemporer di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989), hlm. 21

[16] Ibid, hlm. 45-54

[17] Ibid, hlm. 75

[18] Ibid, hlm. 89

[19] Ibid, hlm. 141

[20] Ibid, hlm. 207-208

[21] Ibid, hlm. 290-291

[22] Fatah Syukur, Op. Cit, hlm. 281

[23] M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), Cet. 1, hlm. 338-339

[24] A. Mansur Suryanegara, Api Sejarah, (Bandung: Salamadi Pustaka Semesta, 2009), Cet. 1, hlm. 541

[25] Badri Yatim, Op. Cit, hlm. 304-305

[26] Claude Guillot dan Ludvik Kals, Inskripsi Islam Tertua di Indonesia, (Jakarta: Pepustakaan Populer Gramedia, 2008), Cet. 1,  hlm. 33-34

[27] Ibid, hlm. 102

[28] Ibid, hlm. 102-103

[29] Ibid, hlm. 133-134

Tinggalkan komentar